Kamis, 07 Maret 2013








NASKAH PUISI PILIHAN
“PIALA GANDEWA III”
LOMBA BACA PUISI KATEGORI PELAJAR DAN UMUM
TINGKAT NASIONAL

dipersembahkan oleh
UNIVERSITAS PEKALONGAN
BERSAMA BALAI BAHASA JAWA TENGAH
2013



API
(Puisi Kuntowijoyo)


Yang tak pernah memetik api
Terkutuk untuk tinggal di bukit kapur
Menunggu sumur tua
Yang mata airnya
Mendengarkan kesiur angina kering
Yang menotok telinga

Sebab hidup selalu sebaiknya. Mereka yang tak
Sernah menempa api
Tak mengerti sejuk air
Bahkan ketika mengosongkan gelas
Sesudah tamu terakhir melangkah pintu

Api sebagai sukma
Ia mengembara
Dan jatuh kasihan hanya pada leleki
Yang kasar tangannya
Dan sanggup menggenggam bara
Ketika api sedang bercinta

Karena api suka pada laki-laki
Maka ia nyalakan matanya. Sebab hidup selalu
Sebaliknya: mata lelaki juga mata menjangan
Juga mata singa
Juga mata garuda
Juga mata naga.




ASMARADANA
(Goenawan Mohammad)


Ia dengar kepak sayap kelelawar dan guyur sisa
hujan dari daun,
karena angin pada kemuning. Ia dengar resah kuda
serta langkah
pedati ketika langit bersih kembali menampakkan
bimasakti,
yang jauh. Tapi di antara mereka berdua, tidak ada
yang berkata-kata.
Lalu ia ucapkan perpisahan itu, kematian itu. Ia
melihat peta,
Nasib, perjalanan dan sebuah peperangan yang tak
semuanya
disebutkan.

Lalu ia tahu perempuan itu tak akan menangis.
Sebab bila esok
Pagi pada rumput halaman ada tapak yang menjauh
ke utara,
ia tak akan mencatat yang telah lewat dan yang
akan tiba,
karena ia tak berani lagi.

Anjasmara, adikku, tinggalah, seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang, kaulupakan
wajahku,
kulupakan wajahmu.




PAMAN DOBLANG
(W.S Rendra)


Paman Doblang! Paman Doblang!
Mereka masukkan kamu ke dalam sel yang gelap.
Tanpa lampu. Tanpa lubang cahaya. Pengap.
Ada hawa. Tak ada angkasa.
Terkucil. Temanmu beratus-ratus nyamuk semata.
Terkunci. Tak tahu di mana berada.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Apa katamu?
Ketika haus aku minum dari kaleng karatan.
Sambil bersila aku mengharungi waktu
lepas dari jam, hari dan bulan
Aku dipeluk oleh wibawa tidak berbentuk
tidak berupa, tidak bernama.
Aku istirah di sini.
Tenaga ghaib memupuk jiwaku.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Di setiap jalan mengadang mastodon dan serigala.
Kamu terkurung dalam lingkaran.
Para pengeran meludahi kamu dari kereta kencana.
Kaki kamu dirantai ke batang karang.
Kamu dikutuk dan disalahkan.
Tanpa pengadilan.
Paman Doblang! Paman Doblang!
Bubur di piring timah
didorong dengan kaki ke depanmu
Paman Doblang, apa katamu?
Kesedaran adalah matahari.
Kesabaran adalah bumi.
Keberanian menjadi cakerawala.
Dan perjuangan
adalah perlaksanaan kata-kata.




PUISI SEORANG TUKANG RAMBUTAN PADA ISTRINYA

(Taufiq Ismail)


“Tadi siang ada yang mati,
Dan yang mengantar banyak sekali
Ya. Mahasiswa-mahasiswa itu. Anak-anak sekolah
Yang dulu berteriak: dua ratus, dua ratus!
Sampai bensin juga turun harganya
Sampai kita bisa naik bis pasar yang murah pula
Mereka kehausan dalam panas bukan main
Terbakar mukanya diatas truk terbuka
Saya lemparkan sepuluh ikat rambutan kita, bu
Biarlah sepuluh ikat juga
memang sudah rejeki mereka
Mereka berteriak kegirangan dan berebutan
Seperti anak-anak kecil
Dan memyoraki saja. Betul bu, menyoraki saja
‘Hidup tukang rambutan! Hidup tukang rambutan!’
Dan ada yang turun dari truk, bu
Mengejar dan menyalami saja
‘Hidup rakyat!’ teriaknya
Saya dipanggul dan diarak-arak sebentar
‘Hidup pak rambutan!’ sorak mereka
‘Terima kasih pak, terima kasih!
Bapak setuju kami, bukan?’
Saya mengangguk-angguk. Tak bisa bicara
‘Doakan perjuangan kami, pak!’
Mereka naik truk kembali
Masih meneriakkan terima-kasihnya
‘Hidup pak rambutan! Hidup rakyat!’
Saya tersedu, bu. Belum pernah seumur hidup
Orang berterimakasih begitu jujurnya
Pada orang kecil seperti kita”



DI NEGERI AMPLOP
(Gus Mus)


Aladin menyembunyikan lampu wasiatnya “malu”
Samson tersipu – sipu, rambut keramatnya dituupi topi “rapi – rapi”
david coverfil dan rudini bersembunyi “rendah diri”
entah, andai Nabi Musa bersedia datang membawa tongkatnya
amplop – amplop di negeri amplop mengatur dengan teratur
Hal – hal yang tak teratur menjadi teratur
Hal – hal yang teratur menjadi tak teratur
Memutuskan putusan yang tak putus
Membatalkan putusan yang sudah putus
Amplop – amplop menguasai penguasa
dan mengendalikan orang – orang biasa
amplop – amplop membeberkan dan menyembunyikan
mencairkan dan membekukan
mengganjal dan melicinkan
Orang bicara bisa bisu
Orang mendengar bisa tuli
Orang alim bisa nafsu
Orang sakti bisa mati
Di
 negri amplop, amplop – amplop mengamplopi apa saja dan siapa saja




AROMA MAUT
(Hamid Jabbar)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali satu denyut lepas, o satu denyut lepas
tepat di saat tak jelas batas-batas, sayangku:
Segalanya terhempas, o segalanya terhempas!

(Laut masih berombak, gelombangnya entah ke mana.
Angin masih berhembus, topannya entah ke mana.
Bumi masih beredar, getarnya sampai ke mana?
Semesta masih belantara, sunyi sendiri ke mana?)

Berapakah jarak antara hidup dan mati, sayangku?
Barangkali hilir-mudik di suatu titik
tumpang-tindih merintih dalam satu nadi, sayangku:
Sampai tetes-embun pun selesai, tak menitik!

(Gelombang lain datang begitu lain.
Topan lain datang begitu lain.
Gelap lain datang begitu lain.
Sunyi lain begitu datang sendiri tak bisa lain!)

 

AIR SELOKAN
(Sapardi Djoko Damono)

"Air yang di selokan itu mengalir dari rumah sakit," katamu pada suatu hari minggu pagi.  Waktu itu kau berjalanjalan bersama istrimu yang sedang mengandung
-- ia hampir muntah karena bau sengit itu.
Dulu di selokan itu mengalir pula air yang digunakan untuk memandikanmu waktu kau lahir: campur darah dan amis baunya. Kabarnya tadi sore mereka sibuk memandikan mayat di kamar mati.

Senja ini ketika dua orang anak sedang berak di tepi selokan itu, salah seorang tiba-tiba berdiri dan menuding sesuatu:
"Hore, ada nyawa lagi terapung-apung di air itu -- alangkah indahnya!"
Tapi kau tak mungkin lagi menyaksikan yang berkilau-kilauan hanyut di permukaan air yang anyir baunya itu, sayang sekali. 
 
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,1982


 
PERHITUNGAN
(Sitor Situmorang)
Buat Rivai Apin
Sudah lama tidak ada puncak dan lembah
Masa lempang-diam menyerah
dan kau tahu di ujung kuburan menunggu kesepian
Aku belum juga rela berkemas
Manusia, mengapa malam bisa tiba-tiba menekan
dada?
Sedang rohnya masih mengembara di lorong-lorong
Keyakinan dulu manusia bisa
hidup dan dicintai habis-habisan
Belum tahu setinggi untung bila bisa menggali
kuburan sendiri
Rebutlah dunia sendiri
dan pisahkan segala yamg melekat lemah
Kita akan membubung ke langit menjadi bintang
jernih sonder debu
Detik kata jadikan abad-abad
Abad-abad kita hidupi dalam sekilas bintang
Sesudah itu malam, biarlah malam
Bila hidup menolak
Ia kita tinggalkan seperti anak
yang terpaksa puas dengan boneka
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tapi tak ada lagi kita
Sedang mereka rindu pada cinta garang
Mereka akan menari dan menyanyi terus
Tentang abad dan detik yang ‘lah terbenam
Bersama kita, tarian perawan janda ….


 Unduh di sini